Jumat, 16 Maret 2012
quran dan kehancuran peradaban
l-Quran dan Kehancuran Peradaban
Beberapa
ayat al-Quran memberikan penjelasan tentang kehancuran suatu bangsa.
Penjelasan al-Quran ini sangatlah penting untuk menjadi pelajaran,
khususnya bagi kaum Muslimin, agar mereka tidak mengulang kembali
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh umat terdahulu, yang dapat
menghancurkan peradaban mereka.
Allah SWT berfirman:
“Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al A’raf:96)
Maka
apabila mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,
Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga
apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada
mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba (sekonyong-konyong), maka
ketika itu mereka terdiam dan berputus asa. (QS al-An’am:44).
Dan
jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati
Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah
sepatutnya berlaku keputusan Kami terhadap mereka, kemudian Kami
hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS al-Isra’:16)
Ayat-ayat
dalam al-Quran yang menjelaskan tentang kehancuran suatu negeri itu
bercerita, bahwa kehancuran suatu kaum berhubungan dengan hal-hal: (1)
sikap kaum yang melupakan peringatan Allah SWT, sehingga mereka lupa
diri dan hidupnya dihabiskan untuk sekedar mencari kesenangan demi
kesenangan (hedonisme). Hal ini juga disebutkan dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 24. (2)
tindakan elite-elite atau pembesar masyarakat yang melupakan Allah SWT
dan membuat kerusakan di muka bumi. Apabila di dalam suatu peradaban
sudah tampak dominan adanya para pembesar, tokoh masyarakat, orang-orang
kaya yang bergaya hidup mewah, atau sesiapa saja yang bermewah-mewah
dalam hidupnya, maka itu pertanda kehancuran peradaban itu sudah dekat.
Video Free Sex Porno Porn Selasa, 12 Januari 2010 sejarah jatuh bangunnya peradaban islam
Rasulullah saw bersabda: “Apabila
umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam;
dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, maka
akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci,
maka jatuhlah mereka dalam pandangan Allah.”
Dalam Perkara Halal Dan Haram
Dalam perkara halal dan haram, umat Islam bersikap pertengahan antara
Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi banyak diharamkan dari hal-hal yang
mubah. Sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Quran,
Sedangkan umat Nashrani mereka berlebih-lebihan dalam menghalalkan hal-hal yang diharamkan. Mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam Taurat dan diharamkan oleh al Masih ‘alaihis salaam. Mereka menghalalkan hal-hal yang jelek dan semua hal yang haram seperti bangkai, darah, dan daging babi.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka tidak berlebih-lebihan dalam perkara halal dan haram. Mereka menghalalkan hal-hal yang telah Allah halalkan bagi mereka dalam Al Quran atau sabda Nabi shalallhu ‘alaihi wa salaam. Mereka juga mengharamkan segala sesuatu hal yang jelek yang diharamkan bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang kondisi umat Islam,
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ
حِلاًّ لِّبَنِى إِسْرَاءِيلَ إِلاَّ مَاحَرَّمَ إِسْرَاءِيلُ عَلَى
نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ … {93}
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan
yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum
Taurat diturunkan…”(QS. Ali Imron:93)
فَبِظُلْمٍ مِّنَ
الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا {160}
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah” (QS. An Nisaa’:160)Sedangkan umat Nashrani mereka berlebih-lebihan dalam menghalalkan hal-hal yang diharamkan. Mereka menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam Taurat dan diharamkan oleh al Masih ‘alaihis salaam. Mereka menghalalkan hal-hal yang jelek dan semua hal yang haram seperti bangkai, darah, dan daging babi.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Mereka tidak berlebih-lebihan dalam perkara halal dan haram. Mereka menghalalkan hal-hal yang telah Allah halalkan bagi mereka dalam Al Quran atau sabda Nabi shalallhu ‘alaihi wa salaam. Mereka juga mengharamkan segala sesuatu hal yang jelek yang diharamkan bagi mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang kondisi umat Islam,
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ
الرَّسُولَ النَّبِيَّ اْلأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا
عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ
عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ … {157}
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di
sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’rof:157)
Dalam Permasalahan Syariat
Dalam permasalahan syariat, umat Islam bersikap pertengahan antara
Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menolak rasul utusan Allah yang tidak
membawa syariat Musa ‘alaihis salaam. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak boleh menghapus syariat Musa ‘alahis salaam,
serta tidak boleh pula untuk menghilangkan dan menetapkan syariat yang
Allah kehendaki. Adapun kamu Nashrani mereka membolehkan
pendeta-pendeta mereka merubah agama Allah, menghalalkan perkara yang
Allah haramkan dan mengharamkan perkara yang Allah halalkan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini bahwa segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah menghilangkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Penghapusan syariat bisa saja terjadi di masa hidupnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapaun setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti syariat Allah betapa pun tinngginya kedudukan dan besarnya kemampuan orang tersebut.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini bahwa segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah menghilangkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Penghapusan syariat bisa saja terjadi di masa hidupnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapaun setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti syariat Allah betapa pun tinngginya kedudukan dan besarnya kemampuan orang tersebut.
Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi
Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap
pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi membunuh nabi-nabi
mereka, mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau
mengikuti ajaran mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan al Masih ‘alaihis salaam sebagai Tuhan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam senantiasa menolong nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam senantiasa menolong nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi
Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi
Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi membunuh nabi-nabi mereka, mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau mengikuti ajaran mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan al Masih ‘alaihis salaam sebagai Tuhan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam senantiasa menolong nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi membunuh nabi-nabi mereka, mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau mengikuti ajaran mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan al Masih ‘alaihis salaam sebagai Tuhan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam senantiasa menolong nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Sikap Pertengahan Umat Islam, Antara Yahudi Dan Nashrani
Umat Islam adalah umat yang terbaik sekaligus umat yang paling mulia. Di
antara sebabnya adalah sikap adil yang dimiliki umat Islam, yakni
bersikap pertengahan di antara dua kelompok yang terlalu
berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Umat Nashrani bersikap
berlebih-lebihan dalam beragama, sedangkan umat Yahudi terlalu
meremehkan. Kedua-duanya telah keliru dalam memahami agama. Adapun umat
Islam adalah umat yang adil, berada di tengah-tengah antara keduanya.
Dalam Perkara Tauhid
Dalam permasalahan tauhid kepada Allah dan terhadap sifat-sifat-Nya, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menyifati Allah Ta’ala dengan sifat kekurangan yang dimiliki makhluk sehingga mereka menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah bakhil (kikir) dan fakir, memiliki sifat malas sehingga butuh istirahat, Allah menyerupai bentuk manusia, serta perkataan lain yang senada. Adapun umat Nashrani menyifati makhluk dengan sifat Al Kholiq (Yang Maha Pencipta). Mereka manyamakan makhluk dengan Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah al Masih bin Maryam, al Masih adalah Ibnullah (anak Allah), dia dapat mencipta, memberi rizki, mengampuni dosa, memberi rahmat, serta memberi pahala dan mengadzab.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang sempurna, dan menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Dalam Perkara Tauhid
Dalam permasalahan tauhid kepada Allah dan terhadap sifat-sifat-Nya, umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menyifati Allah Ta’ala dengan sifat kekurangan yang dimiliki makhluk sehingga mereka menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka mengatakan bahwa Allah bakhil (kikir) dan fakir, memiliki sifat malas sehingga butuh istirahat, Allah menyerupai bentuk manusia, serta perkataan lain yang senada. Adapun umat Nashrani menyifati makhluk dengan sifat Al Kholiq (Yang Maha Pencipta). Mereka manyamakan makhluk dengan Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah al Masih bin Maryam, al Masih adalah Ibnullah (anak Allah), dia dapat mencipta, memberi rizki, mengampuni dosa, memberi rahmat, serta memberi pahala dan mengadzab.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang sempurna, dan menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Dalam Permasalahan Syariat
Dalam permasalahan syariat, umat Islam bersikap pertengahan antara
Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi menolak rasul utusan Allah yang tidak
membawa syariat Musa ‘alaihis salaam. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak boleh menghapus syariat Musa ‘alahis salaam,
serta tidak boleh pula untuk menghilangkan dan menetapkan syariat yang
Allah kehendaki. Adapun kamu Nashrani mereka membolehkan
pendeta-pendeta mereka merubah agama Allah, menghalalkan perkara yang
Allah haramkan dan mengharamkan perkara yang Allah halalkan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini bahwa segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah menghilangkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Penghapusan syariat bisa saja terjadi di masa hidupnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapaun setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti syariat Allah betapa pun tinngginya kedudukan dan besarnya kemampuan orang tersebut.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam meyakini bahwa segala penciptaan dan pengaturan hanyalah hak Allah. Allah menghilangkan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Penghapusan syariat bisa saja terjadi di masa hidupnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapaun setelah wafatnya beliau, maka tidak boleh seorang pun mengganti syariat Allah betapa pun tinngginya kedudukan dan besarnya kemampuan orang tersebut.
Dalam Perkara Tauhid
Dalam permasalahan tauhid kepada Allah dan terhadap sifat-sifat-Nya,
umat Islam bersikap pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi
menyifati Allah Ta’ala dengan sifat kekurangan yang dimiliki
makhluk sehingga mereka menyamakan Allah dengan makhluk. Mereka
mengatakan bahwa Allah bakhil (kikir) dan fakir, memiliki sifat malas
sehingga butuh istirahat, Allah menyerupai bentuk manusia, serta
perkataan lain yang senada. Adapun umat Nashrani menyifati makhluk
dengan sifat Al Kholiq (Yang Maha Pencipta). Mereka manyamakan makhluk
dengan Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah al Masih bin Maryam, al Masih adalah Ibnullah (anak Allah), dia dapat mencipta, memberi rizki, mengampuni dosa, memberi rahmat, serta memberi pahala dan mengadzab.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang sempurna, dan menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Mereka menyifati Allah dengan sifat yang sempurna, dan menyucikannya dari seluruh sifat kekurangan, serta tidak menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka meyakini bahwa tidak ada satupun yang menyerupai Allah baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya.
Dalam Keimanan Terhadap Para Nabi
Dalam hal keimanan terhadap para Nabi, umat Islam bersikap
pertengahan antara Yahudi dan Nashrani. Umat Yahudi membunuh nabi-nabi
mereka, mencela mereka, serta berpaling dan sombong dengan tidak mau
mengikuti ajaran mereka. Sedangkan umat Nashrani mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi mereka. Mereka menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah. Mereka menjadikan al Masih ‘alaihis salaam sebagai Tuhan.
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam senantiasa menolong nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Sikap umat Islam pertengahan di antara keduanya. Umat Islam mendudukkan nabi-nabi mereka sesuai dengan kedudukannya. Umat Islam senantiasa menolong nabi-nabi mereka, mengagungkan mereka, membenarkan mereka, mencintai mereka, mentaati mereka, serta mengimani bahwa mereka semua adalah hamba Allah sekaligus rasul yang memberi peringatan dan kabar gembira. Umat Islam tidak bersikap berlebih-lebihan sampai menyembah mereka dan menjadikan mereka sebagai sesembahan selain Allah karena para nabi tidaklah mengetahui yang ghaib, dan mereka juga sedikit pun tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorot (bahaya).
Sikap Pertengahan Umat Islam, Antara Yahudi Dan Nashrani
Umat Islam adalah umat yang terbaik sekaligus umat yang paling mulia. Di
antara sebabnya adalah sikap adil yang dimiliki umat Islam, yakni
bersikap pertengahan di antara dua kelompok yang terlalu
berlebih-lebihan dan terlalu meremehkan. Umat Nashrani bersikap
berlebih-lebihan dalam beragama, sedangkan umat Yahudi terlalu
meremehkan. Kedua-duanya telah keliru dalam memahami agama. Adapun umat
Islam adalah umat yang adil, berada di tengah-tengah antara keduanya.
Tipu daya dan makar mereka terhadap islam setelah wafat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Orang Yahudi memandang tidak mungkin melawan Islam dan kaum muslimin selama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam masih hidup. Ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
wafat, orang Yahudi melihat adanya kesempatan untuk membuat makar
kembali terhadap Islam dan muslimin. Mereka mulai merencanakan dan
menjalankan tipu daya mereka untuk memalingkan kaum muslimin dari
agamanya. Namun tentunya mereka lakukan dengan lebih baik dan teliti
dibanding sebelumnya. Sebagian target mereka telah terwujud dengan
beberapa sebab diantaranya:
Mudah-mudahan ringkas sejarah permusuhan Yahudi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi pelajaran bagi kaum muslimin.
***
Penulis: Ustadz Khalid Syamhudi, Lc.
- Kaum muslimin kehilangan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
- Orang Yahudi dapat mengambil pelajaran dan pengalaman dari usaha-usaha mereka terdahulu sehingga dapat menambah hebat makar dan tipu daya mereka.
- Masuknya sebagian orang Yahudi ke dalam Islam dengan tujuan memata-matai kaum muslimin dan merusak mereka dari dalam tubuh kaum muslimin.
- Fitnah pembunuhan khalifah UtsmanIni adalah awal keberhasilan Yahudi dalam menyusup dan merusak Islam dan kaum muslimin. Tokoh yahudi yang bertanggung jawab terjadinya peristiwa ini adalah Abdullah bin Saba’ yang dikenal dengan Ibnu Sauda’. Kisahnya cukup masyhur dan ditulis dalam kitab-kitab sejarah Islam.
- Fitnah Maimun Al Qadaah dan perkembangan sekte Bathiniyah. Keberhasilan Abdullah bin Saba’ membuat fitnah di kalangan kaum Muslimin dan mengajarkan saba’isme membuat orang Yahudi semakin berani. Sehingga belum habis fitnah Sabaiyah mereka sudah memunculkan tipu daya baru yang dipimpin seorang Yahudi bernama Maimun bin Dieshaan Al Qadaah dengan membuat sekte Batiniyah di Kufah tahun 276 H. Imam Al Baghdadi menceritakan: Diatara orang yang membangun sekte Bathiniyah adalah Maimun bin Dieshaan yang dikenal dengan Al Qadaah seorang maula bagi Ja’far bin Muhammad Al Shodiq yang berasal dari daerah Al Ahwaaz dan Muhammad bin Al Husein yang dikenal dengan Dandaan. Mereka berkumpul bersama Maimun Al Qadah di penjara Iraaq lalu membangun sekte Bathiniyah.Tipu daya Yahudi ini terus berjalan dalam bentuk yang beraneka ragam sehingga sekte ini berkembang menjadi banyak sekali sektenya dalam kaum muslimin, sampai-sampai menghalalkan pernikahan sesama mahrom dan hilangnya kewajiban syariat pada seseorang.
- Penghancuran kekhilafahan Turki Utsmani ditangan gerakan Masoniyah dan akibat yang ditimbulkan berupa perpecahan kaum muslimin.Orang Yahudi mengetahui sumber kekuatan kaum muslimin adaalh bersatunya mereka dibawah satu kepemimpinan dalam naungan kekhilafahan Islamiyah. Oleh karena mereka segera berusaha keras meruntuhkan kekhilafahan yang ada sejak zaman Khulafa’ Rasyidin sampai berhasil menghapus dan meruntuhkan negara Turki Utsmaniyah. Orang Yahudi memulai konspirasinya dalam meruntuhkan Negara Turki Utsmaniyah pada masa sultan Murad kedua (tahun 834-855H) dan setelah beliau pada masa sultan Muhammad Al Faatih (tahun 855-886H) yang meningal diracun oleh Thobib beliau seorang Yahudi bernama Ya’qub Basya. Demikian juga berhasil membunuh Sultan Sulaiman Al Qanuni (tahun 926-974H) dan para cucunya yang diatur oleh seorang Yahudi bernama Nurbaanu. Konspirasi Yahudi ini terus berlangsung di masa kekhilafahan Utsmaniyah lebih dari 400 tahunan hingga runtuhnya di tangan Mushthofa Ataturk.
- Yahudi Al Dunamah. Diantara tokohnya adalah Madhaat Basya dan Mushthofa Kamal Ataturk yang memiliki peran besar dan penting dalam penghancuran kekhilafahan Utsmaniyah.
- Salibis Eropa yang sangat membenci islam dan kaum muslimin dengan melakukan perjanjian kerjasama dengan beberapa Negara eropa yaitu Bulgaria, Rumania, Namsa, Prancis, Rusia, Yunani dan Italia.
- Organisasi bawah tanah/rahasia, khususnya Masoniyah yang terus berusaha merealisasikan tujuan dan target Zionis.
- Pada awal November 1922 M ia menghapus kesultanan dan membiarkan kekhilafahan
- Pada tanggal 18 November 1922M ia mencopot Wahieduddin Muhammad keenam dari kekhilafahan.
- Pada Agustus 1923 M ia mendirikan Hizb Al Sya’b Al Jumhuriah (Partai Rakyat Republik) dengan tokoh-tokoh pentingnya kebanyakan dari Yahudi Al Dunamah dan Masoniyah.
- Pada tanggal 20 oktober 1923 M Republik Turki diresmikan dan Al Jum’iyah Al Wathoniyah (Organisasi nasional) memilih Musthofa Kamal sebagai presiden Turki.
- Pada tanggal 2 Maret 1924 M Kekhilafahan dihapus total.
Mudah-mudahan ringkas sejarah permusuhan Yahudi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi pelajaran bagi kaum muslimin.
***
Penulis: Ustadz Khalid Syamhudi, Lc.
Masa perang senjata antara Yahudi dan Muslimin di zaman Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
rang Yahudi tidak cukup hanya membuat keonaran dan fitnah kepada kaum
muslimin semata bahkan merekapun menampakkan diri bergabung dengan kaum
musyrikin dengan menyatakan permusuhan yang terang-terangan terhadap
islam dan kaum muslimin. Namun Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
tetap menunggu sampai mereka melanggar dan membatalkan perjanjian yang
pernah dibuat diMadinah. Ketika mereka melanggar perjanjian tersebut
barulah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan
tindakan militer untuk menghadapi mereka dan mengambil beberapa
keputusan untuk memberikan pelajaran kepada mereka. Diantara keputusan
penting tersebut adalah:
- Pengusiran Bani Qainuqa’
- Pengusiran bani Al Nadhir
- Perang Bani Quraidzoh
- Penaklukan kota Khaibar
Usaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
Orang Yahudi tidak pernah henti berusaha memfitnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam,
diantaranya adalah kisah yang disampaikan Ibnu Ishaaq bahwa beliau
berkata: Ka’ab bin Asad, Ibnu Shaluba, Abdullah bin Shurie dan Syaas bin
Qais saling berembuk dan menghasilkan keputusan berangkat menemui
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam untuk memfitnah agama beliau. Lalu mereka menemui Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
dan berkata: Wahai Muhammad engkau telah tahu kami adalah ulama dan
tokoh terhormat serta pemimpin besar Yahudi, Apabila kami mengikutimu
maka seluruh Yahudi akan ikut dan tidak akan menyelisihi kami. Sungguh
antara kami dan sebagian kaum kami terjadi persengketaan. Apakah boleh
kami berhukum kepadamu lalu engkau adili dengan memenangkan kami atas
mereka? Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam enggan menerimanya. Lalu turunlah firman Allah:
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati. hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada
mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan
manusia adalah orang-orang yang fasik. (Qs. 5:49)
Semua usaha mereka ini gagal total dihadapan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan Allah membalas makar mereka ini dengan menimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan.
Semua usaha mereka ini gagal total dihadapan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan Allah membalas makar mereka ini dengan menimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan.
Memata-matai kaum Muslimin
Ibnu Hisyam menjelaskan adanya sejumlah orang Yahudi
yang memeluk Islam untuk memata-matai kaum muslimin dan menukilkan
berita Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan yang ingin
beliau lakukan kepada orang Yahudi dan kaum musyrikin, diantaranya:
Sa’ad bin Hanief, Zaid bin Al Lishthi, Nu’maan bin Aufa bin Amru dan
Utsmaan bin Aufa serta Rafi’ bin Huraimila’. Untuk menghancurkan tipu
daya ini Allah berfirman:Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu
(karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.
Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar
lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak
menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila
mereka menjumpai kamu, mereka berkata:”Kami beriman”; dan apabila mereka
menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci
terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka):”Marilah kamu karena
kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (Qs. 3:118-119)
Menyebarkan keraguan pada diri kaum muslimin
Orang Yahudi berusaha memasukkan keraguan di hati kaum muslimin yang
masih lemah imannya dengan melontarkan syubhat-syubhat yang dapat
menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap islam. Hal ini dijelaskan Allah
dalam firmanNya: Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada
sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang
diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada
permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka
(orang-orang mu’min) kembali (kepada kekafiran). (Qs. 3:72). Ibnu
Katsir menjelaskan ayat ini dengan pernyataan: Ini adalah tipu daya yang
mereka inginkan untuk merancukan perkara agama islam kepada orang-orang
yang lemah imannya. Mereka sepakat menampakkan keimanan di pagi hari
(permulaan siang) dan sholat subuh bersama kaum muslimin. Lalu ketika
diakhir siang hari (sore hari) mereka murtad dari agama Islam agar
orang-orang bodoh menyatakan bahwa mereka keluat tidak lain karena
adanya kekurangan dan aib dalam agama kaum muslimin.
Membangkitkan fitnah dan kebencian
Yahudi dalam upaya menghalangi dakwah islam menggunakan
upaya menciptakan fitnah dan kebencian antar sesama kaum muslimin yang
pernah ada di hati penduduk Madinah dari Aus dan Khodzraj pada masa
jahiliyah. Sebagian orang yang baru masuk islam menerima ajakan Yahudi,
namun dapat dipadamkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
. diantaranya adalah kisah yang dibawakan Ibnu Hisyam dalam Siroh Ibnu
Hisyam (2/588) ringkas kisahnya: Seorang Yahudi bernama Syaas bin Qais
mengutus seorang pemuda Yahudi untuk duduk dan bermajlis bareng dengan
kaum Anshor, kemudian mengingatkan mereka tentang kejadian perang Bu’ats
hingga terjadi pertengkaran dan mereka keluar membawa senjata-senjata
masing-masing. Lalu hal ini sampai pada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. maka beliau shallallahu ’alaihi wa sallam
segera berangkat bersama para sahabat muhajirin menemui mereka dan
bersabda:يَا مَعْشَر المُسْلِمِيْنَ اللهَ اللهَ أَبِدَعْوَى
الْجَاهِلِيَّةِ وَ أَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ بَعْدَ أَنْ هَدَاكُمُ اللهُ
لِلإِسْلاَمِ وَ أَكْرَمَكُمْ بِهِ وَ قَطَعَ بِهِ أَمْرَ الْجَاهِلِيَّةِ
وَاسْتَنْقَذَكُمْ بِهِ مِنَ الْكُفْرِ وَ أَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
“Wahai kaum muslimin alangkah keterlaluannya kalian, apakah (kalian
mengangkat) dakwah jahiliyah padahal aku ada diantara kalian setelah
Allah tunjuki kalian kepada Islam dan muliakan kalian, memutus perkara
Jahiliyah dan menyelamatkan kalian dari kekufuran dengan Islam serta
menyatukan hati-hati kalian.” Lalu mereka sadar ini adalah godaan
syetan dan tipu daya musuh mereka, sehingga mereka mengangis dan saling
rangkul antara Aus dan Khodzroj. Lalu mereka pergi bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dengan patuh dan taat yang penuh. Lalu Allah turunkan firmanNya:
Katakanlah: ”Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah,
padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan. Katakanlah:”Hai
Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang
yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu
menyaksikan.” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (Qs. 3:99)
Upaya Yahudi dalam menghalangi dakwah Islam di masa awal perkembangan dakwah islam dan cara mereka dalam hal ini.
Pemboikotan (embargo) Ekonomi: Kaum muslimin ketika
awal perkembangan islam di Madinah sangat lemah perekonomiannya. Kaum
muhajirin datang ke Madinah tidak membawa harta mereka dan kaum Anshor
yang menolong mereka pun bukanlah pemegang perekonomian Madinah. Oleh
karena itu Yahudi menggunakan kesempatan ini untuk menjauhkan kaum
muslimin dari agama mereka dan melakukan embargo ekonomi. Para pemimpin
Yahudi enggan membantu perekonomian kaum muslimin dan ini terjadi ketika
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengutus Abu Bakar
menemui para pemimpin Yahudi untuk meminjam dari mereka harta yang
digunakan untuk membantu urusan beliau dan berwasiat untuk tidak berkata
kasar dan tidak menyakiti mereka bila mereka tidak memberinya. Ketika
Abu Bakar masuk Bait Al Midras (tempat ibadah mereka) mendapati mereka
sedang berkumpul dipimpin oleh Fanhaash –tokoh besar bani Qainuqa’- yang
merupakan salah satu ulama besar mereka didampingi seorang pendeta
yahudi bernama Asy-ya’. Setelah Abu Bakar menyampaikan apa yang
dibawanya dan memberikan surat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
kepadanya. Maka ia membaca sampai habis dan berkata: Robb kalian butuh
kami bantu! Tidak hanya sampai disini saja, bahkan merekapun enggan
menunaikan kewajiban yang harus mereka bayar, seperti hutang, jual beli
dan amanah kepada kaum muslimin. Berdalih bahwa hutang, jual beli dan
amanah tersebut adanya sebelum islam dan masuknya mereka dalam islam
menghapus itu semua. Oleh karena itu Allah berfirman:Di antara Ahli
Kitab ada orang yang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang
banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang
jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya
kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu
lantaranmereka mengatakan:”Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang
ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (Qs. 3:75)
Permusuhan Yahudi Terhadap Islam Dalam Sejarah
Permusuhan Yahudi terhadap Islam sudah terkenal dan ada sejak dahulu kala. Dimulai sejak dakwah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
dan mungkin juga sebelumnya bahkan sebelum kelahiran beliau. Hal ini
mereka lakukan karena khawatir dari pengaruh dakwah islam yang akan
menghancurkan impian dan rencana mereka. Namun dewasa ini banyak usaha
menciptakan opini bahwa permusuhan yahudi dan islam hanyalah sekedar
perebutan tanah dan perbatasan Palestina dan wilayah sekitarnya, bukan
permasalahan agama dan sejarah kelam permusuhan yang mengakar dalam diri
mereka terhadap agama yang mulia ini.
Padahal pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan eksistensi, bukan persengkataan perbatasan. Musuh-musuh islam dan para pengikutnya yang bodoh terus berupaya membentuk opini bahwa hakekat pertarungan dengan Yahudi adalah sebatas pertarungan memperebutkan wilayah, persoalan pengungsi dan persoalan air. Dan bahwa persengketaan ini bisa berakhir dengan (diciptakannya suasana) hidup berdampingan secara damai, saling tukar pengungsi, perbaikan tingkat hidup masing-masing, penempatan wilayah tinggal mereka secara terpisah-pisah dan mendirikan sebuah Negara sekuler kecil yang lemah dibawah tekanan ujung-ujung tombak zionisme, yang kesemua itu (justeru) menjadi pagar-pagar pengaman bagi Negara zionis. Mereka semua tidak mengerti bahwa pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan lama semenjak berdirinya Negara islam diMadinah dibawah kepemimpinan utusan Allah bagi alam semesta yaitu Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam Demikianlah permusuhan dan usaha mereka merusak Islam sejak berdirinya Negara islam bahkan sejak Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah sampai saat ini dan akan berlanjut terus. Walaupun tidak tertutup kemungkinan mereka punya usaha dan upaya memberantas islam sejak kelahiran beliau n . hal ini dapat dilihat dalam pernyataan pendeta Buhairoh terhadap Abu Thalib dalam perjalanan dagang bersama beliau diwaktu kecil. Allah Ta’ala telah jelas-jelas menerangkan permusuha
Padahal pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan eksistensi, bukan persengkataan perbatasan. Musuh-musuh islam dan para pengikutnya yang bodoh terus berupaya membentuk opini bahwa hakekat pertarungan dengan Yahudi adalah sebatas pertarungan memperebutkan wilayah, persoalan pengungsi dan persoalan air. Dan bahwa persengketaan ini bisa berakhir dengan (diciptakannya suasana) hidup berdampingan secara damai, saling tukar pengungsi, perbaikan tingkat hidup masing-masing, penempatan wilayah tinggal mereka secara terpisah-pisah dan mendirikan sebuah Negara sekuler kecil yang lemah dibawah tekanan ujung-ujung tombak zionisme, yang kesemua itu (justeru) menjadi pagar-pagar pengaman bagi Negara zionis. Mereka semua tidak mengerti bahwa pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan lama semenjak berdirinya Negara islam diMadinah dibawah kepemimpinan utusan Allah bagi alam semesta yaitu Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam Demikianlah permusuhan dan usaha mereka merusak Islam sejak berdirinya Negara islam bahkan sejak Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hijrah ke Madinah sampai saat ini dan akan berlanjut terus. Walaupun tidak tertutup kemungkinan mereka punya usaha dan upaya memberantas islam sejak kelahiran beliau n . hal ini dapat dilihat dalam pernyataan pendeta Buhairoh terhadap Abu Thalib dalam perjalanan dagang bersama beliau diwaktu kecil. Allah Ta’ala telah jelas-jelas menerangkan permusuha
Senin, 05 Maret 2012
Aspek kemanusiaan dalam islam
Dengan demikian, Islam berarti penerimaan dari dan penyerahan diri
kepada Tuhan, dan penganutnya harus menunjukkan ini dengan
menyembah-Nya, menuruti perintah-Nya, dan menghindari politheisme. Perkataan ini memberikan beberapa maksud dari al-Qur’an.
Dalam beberapa ayat, kualitas Islam sebagai kepercayaan ditegaskan:
"Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk,
niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam..."[9] Ayat lain menghubungkan Islām dan dīn
(lazimnya diterjemahkan sebagai "agama"): "...Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu."[10]
Namun masih ada yang lain yang menggambarkan Islam itu sebagai
perbuatan kembali kepada Tuhan-lebih dari hanya penyataan pengesahan
keimanan.
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Islam
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Islam
Kepercayaan dasar Islam
Kepercayaan dasar Islam dapat ditemukan pada dua kalimah shahādatāin ("dua kalimat persaksian"), yaitu "asyhadu an-laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah"
- yang berarti "Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya
bersaksi bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah". Esensinya adalah
prinsip keesaan Tuhan dan pengakuan terhadap kenabian Muhammad.
Adapun bila seseorang meyakini dan kemudian mengucapkan dua kalimat
persaksian ini, ia dapat dianggap telah menjadi seorang muslim dalam
status sebagai mualaf (orang yang baru masuk Islam dari kepercayaan lamanya).
Kaum Muslim percaya bahwa Allah mengutus Muhammad sebagai Nabi terakhir setelah diutusnya Nabi Isa 6 abad sebelumnya. Agama Islam mempercayai bahwa al-Qur'an dan Sunnah (setiap perkataan dan perbuatan Muhammad) sebagai sumber hukum dan peraturan hidup yang fundamental.[12] Mereka tidak menganggap Muhammad sebagai pengasas agama baru, melainkan sebagai penerus dan pembaharu kepercayaan monoteistik yang diturunkan kepada Ibrahim, Musa, Isa, dan nabi oleh Tuhan yang sama. Islam menegaskan bahwa agama Yahudi dan Kristen belakangan setelah kepergian para nabinya telah membelokkan wahyu yang Tuhan berikan kepada nabi-nabi ini dengan mengubah teks dalam kitab suci, memperkenalkan intepretasi palsu, ataupun kedua-duanya.[13]
Umat Islam juga meyakini al-Qur'an yang disampaikan oleh Allah kepada Muhammad. melalui perantara Malaikat Jibril adalah sempurna dan tidak ada keraguan di dalamnya (Al-Baqarah [2]:2). Di dalam al-Qur'an Allah juga telah berjanji akan menjaga keotentikan al-Qur'an hingga akhir zaman.
Adapun sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an, umat Islam juga diwajibkan untuk beriman dan meyakini kebenaran kitab suci dan firman-Nya yang diturunkan sebelum al-Qur'an (Zabur, Taurat, Injil dan suhuf para nabi-nabi yang lain) melalui nabi dan rasul terdahulu sebelum Muhammad.[14] Umat Islam juga percaya bahwa selain al-Qur'an, seluruh firman Allah terdahulu telah mengalami perubahan oleh manusia. Mengacu pada kalimat di atas, maka umat Islam meyakini bahwa al-Qur'an adalah satu-satunya kitab Allah yang benar-benar asli dan sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya.
Umat Islam meyakini bahwa agama yang dianut oleh seluruh nabi dan rasul utusan Allah sejak masa Adam adalah satu agama yang sama dengan (tauhid|satu Tuhan yang sama), dengan demikian tentu saja Ibrahim juga menganut ketauhidan secara hanif (murni) yang menjadikannya seorang muslim.[15][16] Pandangan ini meletakkan Islam bersama agama Yahudi dan Kristen dalam rumpun agama yang mempercayai Nabi Ibrahim as. Di dalam al-Qur'an, penganut Yahudi dan Kristen sering direferensikan sebagai Ahli Kitab atau orang-orang yang diberi kitab
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Islam
Kaum Muslim percaya bahwa Allah mengutus Muhammad sebagai Nabi terakhir setelah diutusnya Nabi Isa 6 abad sebelumnya. Agama Islam mempercayai bahwa al-Qur'an dan Sunnah (setiap perkataan dan perbuatan Muhammad) sebagai sumber hukum dan peraturan hidup yang fundamental.[12] Mereka tidak menganggap Muhammad sebagai pengasas agama baru, melainkan sebagai penerus dan pembaharu kepercayaan monoteistik yang diturunkan kepada Ibrahim, Musa, Isa, dan nabi oleh Tuhan yang sama. Islam menegaskan bahwa agama Yahudi dan Kristen belakangan setelah kepergian para nabinya telah membelokkan wahyu yang Tuhan berikan kepada nabi-nabi ini dengan mengubah teks dalam kitab suci, memperkenalkan intepretasi palsu, ataupun kedua-duanya.[13]
Umat Islam juga meyakini al-Qur'an yang disampaikan oleh Allah kepada Muhammad. melalui perantara Malaikat Jibril adalah sempurna dan tidak ada keraguan di dalamnya (Al-Baqarah [2]:2). Di dalam al-Qur'an Allah juga telah berjanji akan menjaga keotentikan al-Qur'an hingga akhir zaman.
Adapun sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an, umat Islam juga diwajibkan untuk beriman dan meyakini kebenaran kitab suci dan firman-Nya yang diturunkan sebelum al-Qur'an (Zabur, Taurat, Injil dan suhuf para nabi-nabi yang lain) melalui nabi dan rasul terdahulu sebelum Muhammad.[14] Umat Islam juga percaya bahwa selain al-Qur'an, seluruh firman Allah terdahulu telah mengalami perubahan oleh manusia. Mengacu pada kalimat di atas, maka umat Islam meyakini bahwa al-Qur'an adalah satu-satunya kitab Allah yang benar-benar asli dan sebagai penyempurna kitab-kitab sebelumnya.
Umat Islam meyakini bahwa agama yang dianut oleh seluruh nabi dan rasul utusan Allah sejak masa Adam adalah satu agama yang sama dengan (tauhid|satu Tuhan yang sama), dengan demikian tentu saja Ibrahim juga menganut ketauhidan secara hanif (murni) yang menjadikannya seorang muslim.[15][16] Pandangan ini meletakkan Islam bersama agama Yahudi dan Kristen dalam rumpun agama yang mempercayai Nabi Ibrahim as. Di dalam al-Qur'an, penganut Yahudi dan Kristen sering direferensikan sebagai Ahli Kitab atau orang-orang yang diberi kitab
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Islam
Lima Rukun Islam
Islam memberikan banyak amalan keagamaan. Para penganut umumnya digalakkan untuk memegang Lima Rukun Islam, yaitu lima pilar yang menyatukan Muslim sebagai sebuah komunitas.[17] Tambahan dari Lima Rukun, hukum Islam (syariah)
telah membangun tradisi perintah yang telah menyentuh pada hampir semua
aspek kehidupan dan kemasyarakatan. Tradisi ini meliputi segalanya dari
hal praktikal seperti kehalalan, perbankan, jihad dan zakat.[18]
Isi dari kelima Rukun Islam itu adalah:
sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Islam
Isi dari kelima Rukun Islam itu adalah:
- Mengucapkan dua kalimah syahadat dan meyakini bahwa tidak ada yang berhak ditaati dan disembah dengan benar kecuali Allah saja dan meyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul Allah.
- Mendirikan salat wajib lima kali sehari.
- Berpuasa pada bulan Ramadan.
- Membayar zakat.
- Menunaikan ibadah haji bagi mereka yang mampu.
sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Islam
Enam Rukun Iman
Muslim juga mempercayai Rukun Iman yang terdiri atas 6 perkara yaitu:
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Islam
- Iman kepada Allah
- Iman kepada malaikat Allah
- Iman kepada Kitab Allāh (Al-Qur'an, Injil, Taurat, Zabur dan suhuf)
- Iman kepada nabi dan rasul Allah
- Iman kepada hari kiamat
- Iman kepada qada dan qadar
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Islam
Ajaran Islam
Hampir semua Muslim tergolong dalam salah satu dari dua mazhab terbesar, yaitu Sunni (85%) dan Syiah
(15%). Permasalahan terjadi akibat perbedaan pandangan tentang siapa
yang seharusnya memimpin kaum Muslim sesudah wafatnya Muhammad. Islam
adalah agama predominan sepanjang Timur Tengah, juga di sebagian besar Afrika Utara dan Asia. Komunitas besar juga ditemui di Cina, Semenanjung Balkan di Eropa Timur dan Rusia. Terdapat juga sebagian besar komunitas imigran Muslim di bagian lain dunia, seperti Eropa Barat. Sekitar 20% Muslim tinggal di negara-negara Arab,[19] 30% di subbenua India dan 15.6% di Indonesia, negara Muslim terbesar berdasar populasi.[20]
Negara dengan mayoritas pemeluk Islam Sunni adalah Indonesia, Arab Saudi, dan Pakistan sedangkan negara dengan mayoritas Islam Syi'ah adalah Iran dan Irak. Doktrin antara Sunni dan Syi'ah berbeda pada masalah imamah (kepemimpinan) dan peletakan Ahlul Bait (keluarga keturunan Muhammad). Namun baik Sunni maupun Syi'ah secara umum berpandangan sama terhadap rukun Islam dan rukun Iman yang merupakan aspek fundamental keimanan dalam Islam walaupun dengan terminologi yang berbeda.
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Islam
Negara dengan mayoritas pemeluk Islam Sunni adalah Indonesia, Arab Saudi, dan Pakistan sedangkan negara dengan mayoritas Islam Syi'ah adalah Iran dan Irak. Doktrin antara Sunni dan Syi'ah berbeda pada masalah imamah (kepemimpinan) dan peletakan Ahlul Bait (keluarga keturunan Muhammad). Namun baik Sunni maupun Syi'ah secara umum berpandangan sama terhadap rukun Islam dan rukun Iman yang merupakan aspek fundamental keimanan dalam Islam walaupun dengan terminologi yang berbeda.
sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Islam
DEFINISI, HIKMAH & KISAH ISRA’ MI’RAJ 27 RAJAB YANG BENAR : Buraq adalah seekor binatang yang berwarna putih, panjang, ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada baghl (peranakan kuda dengan keledai), hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang
Posted 30 June, 2011 by dr.Abu Hana | أبو هـنـاء ألفردان | in Sunnah dan Bid'ah (السنة والبدعة). Tagged: apa itu buraq, baitul maqdis, buraq, cerita isra mi'raj yang benar, definisi isro miroj, hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang), isro mikroj, jibril, kisah isra mi'raj yang benar, mikraj, palestina, panjang, salaf, salafy, seekor binatang yang berwarna putih, sejarah buroq, sidratul muntaha, ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada baghl (peranakan kuda dengan keledai), wahaby, wahyu sholat 5 waktu. Leave a Comment
1 Votes
Mengimani Peristiwa Isra’ Mi’raj dan Sanggahan Terhadap yang Mengingakarinya
Salah satu prinsip aqidah dalam Islam adalah mengimani peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Isra’ adalah perjalanan yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Malaikat Jibril pada malam hari dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Perjalanan sejauh ini ditempuh oleh beliau dengan mengendarai Buraq, sejenis hewan yang berwarna putih, panjang, ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada baghl (peranakan kuda dengan keledai). Dengan kekuasaan Allah ta’ala, hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang.
Adapun mi’raj adalah peristiwa naiknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari bumi menuju Sidratul Muntaha, untuk kemudian berjumpa dengan Allah Yang Maha Tinggi dan menerima kewajiban shalat lima waktu sehari semalam.
Sebagian orang beranggapan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada waktu yang berbeda, Isra’ pada satu malam tertentu, dan Mi’raj pada malam yang lain. Namun yang benar adalahperistiwa Isra’ dan Mi’raj ini terjadi pada satu malam yang sama. Demikian yang diungkapkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah. Keterangan beliau ini dikuatkan oleh Al-Imam Ibnu Katsirrahimahullah dengan mengatakan: “Apa yang diungkapkan oleh beliau (Al-Baihaqi) ini adalah yang benar, tidak ada sedikitpun keraguan padanya.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Banyak riwayat dari hadits yang menyebutkan tentang kisah perjalanan yang merupakan salah satu mu’jizat dan tanda kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Masing-masing riwayat tersebut saling melengkapi satu dengan yang lain. Berikut ini, akan disebutkan dari riwayat Al-Imam Muslim rahimahullah dalam kitab Shahihnya (hadits no. 162).
Diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Didatangkan kepadaku Buraq (dia adalah seekor binatang yang berwarna putih, panjang, ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada baghl (peranakan kuda dengan keledai), hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang). Akupun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, kemudian aku tambatkan hewan tersebut di sebuah tali (yang terdapat di pintu masjid Baitul Maqdis). Lalu aku memasuki masjid dan mengerjakan shalat dua raka’at. Setelah itu, aku keluar dan Jibril ‘alaihissalam mendatangiku dengan membawa sebuah bejana yang berisi khamr dan sebuah bejana yang berisi susu. Akupun memilih susu. Kata Jibril ‘alaihissalam: ‘Engkau telah memilih fithrah.’
Kemudian kami naik menuju langit, lalu Jibril meminta (kepada malaikat penjaga pintu langit) untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit, dan akupun berjumpa dengan Adam, diapun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit kedua, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan dua anak dari bibi[1], yaitu ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariyya shalawatullahi ‘alaihima, mereka berduapun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit ketiga, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Yusuf shallallahu ‘alaihi wasallam, dia adalah seorang yang dikaruniai setengah dari ketampanan, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit keempat, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Idris, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku. Allah ‘azza wajalla berfirman tentangnya:
وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا
“Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (Maryam: 57)
Kemudian kami naik menuju langit kelima, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Harun shallallahu ‘alaihi wasallam, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit keenam, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Musa shallallahu ‘alaihi wasallam, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit ketujuh, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Ibrahim shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyandarkan punggungnya di Al-Baitul Ma’mur, sebuah tempat yang setiap harinya ada 70.000 malaikat yangmemasukinya, dan para malaikat yang sudah memasukinya tadi tidak akan kembali lagi.
Kemudian aku dibawa menuju Sidratul Muntaha[2], yang daunnya seperti telinga gajah dan buah-buahannya seperti guci yang besar. Tatkala ketetapan Allah datang menyelimutinya, berubahlah Sidratul Muntaha itu. Tidak ada seorangpun dari makhluk Allah yang mampu untuk menggambarkan keadaannya disebabkan sangat indahnya.
Allah pun mewahyukan kepadaku dengan memerintahkan kepadaku shalat 50 waktu sehari semalam. Aku pun turun dan berjumpa dengan Musa shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia pun bertanya: ‘Apayang diwajibkan Rabbmu kepada umatmu?’ Aku pun menjawab: ‘Shalat 50 waktu.’ Musa berkata: ‘Kembalilah kepada Rabbmu, mohonlah keringanan kepada-Nya karena umatmu tidak akan sanggup memenuhi kewajiban ini, sungguh aku telah menguji Bani Israil (ternyata mereka tidak sanggup).
Aku pun kembali kepada Rabbku dan aku memohon: ‘Wahai Rabbku, berikan keringanan kepada umatku.’ Maka Allah pun menguranginya sebanyak lima waktu. Kemudian aku kembali menjumpai Musa dan aku katakana kepadanya: ‘Allah telah mengurangi sebanyak lima waktu.’ Namun Musa tetap mengatakan: ‘Sesungguhnya umatmu belum mampu memenuhi kewajiban ini, kembalilah kepada Rabbmu dan mohonlah keringanan kepada-Nya.
Terus menerus aku bolak-balik antara Rabbku tabaraka wata’ala dengan Musa ‘alaihissalam sampai Allah menyatakan: ‘Wahai Muhammad, kewajiban shalat itu sebanyak lima waktu sehari semalam, setiap shalat bernilai sepuluh (kebaikan), sehingga nilai keseluruhan dari lima waktu shalat adalah sebanyak 50 waktu shalat. Barangsiapa yang berniat untuk melakukan satu kebaikan namun dia belum mengamalkannya, maka akan dicatat untuknya satu kebaikan. Dan jika dia mengamalkannya, maka akan dicatat untuknya sepuluh kebaikan. Barangsiapa yang berniat melakukan kejelekan namun belum mengerjakannya, maka tidak akan dicatat kejelekan untuknya sedikitpun, dan jika mengerjakan kejelekan itu, maka akan dicatat baginya satu kejelekan.
Akupun turun dan berjumpa dengan Musa shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku kabarkan tentang apa yang telah aku alami. Maka Musa mengatakan: ‘Kembalilah kepada Rabbmu, mohonlah kepada-Nya keringanan. Aku katakan kepadanya: ‘Sungguh aku telah kembali kepada Rabbku sampai aku merasa malu kepada-Nya.”
Isra’ dan Mi’raj dengan Ruh dan Jasad Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
Sebagian kalangan yang lebih mengedepankan akal dan logikanya dalam memahami agama ini -daripada nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah- berupaya untuk mengingkari terjadinya peristiwa Isra’Mi’raj. Kalaupun benar peristiwa tersebut terjadi, maka itu hanya mimpi atau hanya ruh beliau saja, tidak mungkin dengan jasad fisik beliau. Menurut mereka, tidak masuk akal perjalanan sejauh itu hanya ditempuh selama satu malam. Sangat jauhnya jarak antara Masjidil Haram dengan Masjidil Aqsha, kemudian ditambah jarak antara bumi dan langit, tentunya membutuhkan perjalanan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sehingga tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menempuhnya dengan jasad beliau. Sebuah benda yang paling keras sekalipun, kalau bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka benda tersebut bisa meleleh, apalagi jasad seorang manusia. Ini tidak masuk akal, kata mereka.Maka kita katakan: Benar bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj itu tidak masuk akal, yakni akal yang berpenyakit, akalnya orang-orang yang di hatinya terdapat bibit penyimpangan dan kesesatan dari agama yang lurus ini.
Sungguh akal yang sehat itu justru menerima dengan penuh ketundukan dan keyakinan setiap berita dalam Al-Qur’an maupun hadits. Akal yang sehat menyatakan bahwa Allah ta’ala Maha Mampu atas segalanya. Kalau Allah berkehendak, Allah pun mampu untuk menciptakan kejadian luar biasa yang lebih menakjubkan daripada peristiwa Isra’ Mi’raj pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut.
Ayat Al-Qur’an yang mengabadikan peristiwa besar ini, yaitu firman Allah ta’ala:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا
حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah
Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Isra’: 1)menunjukkan bahwa peristiwa tersebut adalah benar adanya dan dialami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau, bukan ruh saja atau mimpi saja. Berikut argumentasinya:
1. Kalimat tasbih (سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى …). Sebagaimana yang sudah dikenal di kalangan umat Islam, bahwa kalimat tasbih ini juga sering digunakan ketika melihat atau mendengar peristiwa besar dan menakjubkan. Kalau Isra’ dan juga Mi’raj ini dilakukan dalam mimpi beliau saja, maka ini bukanlah suatu peristiwa besar. Dalam mimpi, seorang manusia bisa saja mengalami kejadian aneh maupunperistiwa mustahil yang tidak akan mungkin terjadi di alam nyata ini.
2. Kalimat (بِعَبْدِهِ), yang berarti hamba-Nya. Kalimat عبد / hamba, bermakna sebuah ungkapan yang menunjukkan berkumpulnya antara ruh dan jasad, sebagaimana yang sudah dikenal dalam bahasa Arab.
Adapun peristiwa Mi’raj, Allah subhanahu wata’ala telah abadikan dalam Al-Qur’an di awal-awal surat An-Najm. Pada ayat ke-17:
مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى
“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (An-Najm: 17)juga merupakan argumentasi yang kuat yang menunjukkan bahwa peristiwa tersebut terjadi dan dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau. Hal ini ditunjukkan pada kata الْبَصَرُ (yang berarti penglihatan, maksudnya penglihatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), karena kata الْبَصَرُ adalah sebuah ungkapan yang bermakna alat penglihatan dari dzat (jasad), bukan dari ruh.
Argumen lain yang menunjukkan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau adalah dalam ayat-Nya:
وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآَنِ
“Dan Kami tidak menjadikan ru’ya[3] yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al-Qur’an.” (Al-Isra’: 60)Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan makna ru’ya pada ayat di atas adalah pemandangan yang diperlihatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada peristiwa Isra’ ke Baitul Maqdis, adapun pohon kayu yang terkutuk adalah pohon Zaqqum sebagaimana dalam surat Ash-Shaffat ayat 62 sampai 65. (HR. Al-Bukhari, no. 3599).
Sebagiamana ayat di atas, peristiwa yang dilihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan fitnah (ujian) bagi manusia, siapa yang membenarkannya dan siapa saja yang mendustakannya. Seandainya peristiwa seperti itu dialami dalam mimpi, maka tidak akan menjadi ujian bagi mereka. Bisa jadi semua orang -termasuk musyrikin Quraisy- akan percaya dan membenarkannya, karena -sebagaimana yang sudah disebutkan di atas- bahwa siapapun bisa saja bermimpi mengalami kejadian aneh atau peristiwa mustahil yang tidak akan mungkin terjadi di alam nyata ini.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Adhwa-ul Bayan).
Sebagian pihak yang tidak mengimani bahwa peristiwa Isra Mi’raj dengan ruh dan jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdalil dengan adanya salah satu riwayat dalam Shahih Muslim yangmenyebutkan tentang peristiwa Isra Mi’raj beliau, dan disebutkan di dalamnya:
وَهُوَ نَائِمٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Dan beliau sedang tidur di Masjidil Haram.”Kata mereka, riwayat ini menunjukkan bahwa beliau mengalami peristiwa ini dalam mimpi saja karena ketika itu beliau sedang tidur.
Kalau kita mengkaji dengan seksama kitab Syarh (penjelasan) Shahih Muslim yang ditulis oleh Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah, maka kita akan jumpai keterangan beliau dengan menukil perkataan ulama sebelumnya tentang riwayat tersebut. Dan setelah dipelajari, maka kesimpulan dari yang disebutkan oleh beliau adalah di antaranya:
1. Riwayat tersebut telah diingkari oleh para ulama[4].
2. Para rawi hadits ini dari kalangan huffazh mutqinin dan para imam yang terkenal tidak ada satu pun yang menyebutkan riwayat dengan lafazh di atas.
3. Bisa jadi tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika itu adalah saat datangnya malaikat kepada beliau. Adapun setelah itu, beliau bangun dan kemudian mengalami peristiwa yangsangat menakjubkan tersebut. Konteks hadits yang menyebutkan kisah ini tidak menunjukkan bahwa beliau ketika itu sedang tidur.
4. Yang benar adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengalami peristiwa Isra’ dengan jasad beliau. Wallahu a’lam.
Benarkah Isra’ Mi’raj pada 27 Rajab?
Nantikan tulisan berikutnya, Insya Allah.
[2] Secara bahasa Sidratul Muntaha artinya pohon penghabisan. Ibnu Abbas dan para mufassirin menerangkan bahwa dinamakan pohon tersebut dengan Sidratul Muntaha karena pengetahuan malaikat berhenti sampai di tempat ini, tidak ada seorangpun yang sanggup mencapainya kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa dinamakannya Sidratul Muntaha karena dia adalah tempat berhentinya segala sesuatu yang turun dari atasnya maupun yang naik dari arah bawahnya, berupa urusan Allah ta’ala (wahyu dan ketetapan-Nya). Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim).
[3] Kata ru’ya sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan mimpi. Namun dalam ayat ini, ru’ya bermakna pemandangan di alam nyata, bukan di alam mimpi sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Abdullah bin Abbas setelah ini.
[4] Hal ini disebabkan karena kesalahan salah satu rawi dalam meriwayatkan hadits atau mungkin ada sebab lain wallahu a’lam.
1 Votes
Mengimani Peristiwa Isra’ Mi’raj dan Sanggahan Terhadap yang Mengingakarinya
Salah satu prinsip aqidah dalam Islam adalah mengimani peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Isra’ adalah perjalanan yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Malaikat Jibril pada malam hari dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Perjalanan sejauh ini ditempuh oleh beliau dengan mengendarai Buraq, sejenis hewan yang berwarna putih, panjang, ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada baghl (peranakan kuda dengan keledai). Dengan kekuasaan Allah ta’ala, hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang.
Adapun mi’raj adalah peristiwa naiknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari bumi menuju Sidratul Muntaha, untuk kemudian berjumpa dengan Allah Yang Maha Tinggi dan menerima kewajiban shalat lima waktu sehari semalam.
Sebagian orang beranggapan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada waktu yang berbeda, Isra’ pada satu malam tertentu, dan Mi’raj pada malam yang lain. Namun yang benar adalahperistiwa Isra’ dan Mi’raj ini terjadi pada satu malam yang sama. Demikian yang diungkapkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah. Keterangan beliau ini dikuatkan oleh Al-Imam Ibnu Katsirrahimahullah dengan mengatakan: “Apa yang diungkapkan oleh beliau (Al-Baihaqi) ini adalah yang benar, tidak ada sedikitpun keraguan padanya.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Banyak riwayat dari hadits yang menyebutkan tentang kisah perjalanan yang merupakan salah satu mu’jizat dan tanda kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Masing-masing riwayat tersebut saling melengkapi satu dengan yang lain. Berikut ini, akan disebutkan dari riwayat Al-Imam Muslim rahimahullah dalam kitab Shahihnya (hadits no. 162).
Diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Didatangkan kepadaku Buraq (dia adalah seekor binatang yang berwarna putih, panjang, ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada baghl (peranakan kuda dengan keledai), hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang). Akupun menungganginya sampai tiba di Baitul Maqdis, kemudian aku tambatkan hewan tersebut di sebuah tali (yang terdapat di pintu masjid Baitul Maqdis). Lalu aku memasuki masjid dan mengerjakan shalat dua raka’at. Setelah itu, aku keluar dan Jibril ‘alaihissalam mendatangiku dengan membawa sebuah bejana yang berisi khamr dan sebuah bejana yang berisi susu. Akupun memilih susu. Kata Jibril ‘alaihissalam: ‘Engkau telah memilih fithrah.’
Kemudian kami naik menuju langit, lalu Jibril meminta (kepada malaikat penjaga pintu langit) untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit, dan akupun berjumpa dengan Adam, diapun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit kedua, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan dua anak dari bibi[1], yaitu ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariyya shalawatullahi ‘alaihima, mereka berduapun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit ketiga, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Yusuf shallallahu ‘alaihi wasallam, dia adalah seorang yang dikaruniai setengah dari ketampanan, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit keempat, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Idris, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku. Allah ‘azza wajalla berfirman tentangnya:
وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا
“Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (Maryam: 57)
Kemudian kami naik menuju langit kelima, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Harun shallallahu ‘alaihi wasallam, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit keenam, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Musa shallallahu ‘alaihi wasallam, dia pun menyambutku dan mendo’akan kebaikan untukku.
Kemudian kami naik menuju langit ketujuh, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: ‘Siapa engkau?’ Dia menjawab: ‘Aku Jibril.’ Jibril ditanya lagi: ‘Siapa yangbersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Dia ditanya lagi: ‘Apakah dia telah diutus?’ Jibril menjawab: ‘Dia telah diutus. Maka dibukakanlah untuk kami pintu langit kedua, dan akupun berjumpa dengan Ibrahim shallallahu ‘alaihi wasallam sedang menyandarkan punggungnya di Al-Baitul Ma’mur, sebuah tempat yang setiap harinya ada 70.000 malaikat yangmemasukinya, dan para malaikat yang sudah memasukinya tadi tidak akan kembali lagi.
Kemudian aku dibawa menuju Sidratul Muntaha[2], yang daunnya seperti telinga gajah dan buah-buahannya seperti guci yang besar. Tatkala ketetapan Allah datang menyelimutinya, berubahlah Sidratul Muntaha itu. Tidak ada seorangpun dari makhluk Allah yang mampu untuk menggambarkan keadaannya disebabkan sangat indahnya.
Allah pun mewahyukan kepadaku dengan memerintahkan kepadaku shalat 50 waktu sehari semalam. Aku pun turun dan berjumpa dengan Musa shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia pun bertanya: ‘Apayang diwajibkan Rabbmu kepada umatmu?’ Aku pun menjawab: ‘Shalat 50 waktu.’ Musa berkata: ‘Kembalilah kepada Rabbmu, mohonlah keringanan kepada-Nya karena umatmu tidak akan sanggup memenuhi kewajiban ini, sungguh aku telah menguji Bani Israil (ternyata mereka tidak sanggup).
Aku pun kembali kepada Rabbku dan aku memohon: ‘Wahai Rabbku, berikan keringanan kepada umatku.’ Maka Allah pun menguranginya sebanyak lima waktu. Kemudian aku kembali menjumpai Musa dan aku katakana kepadanya: ‘Allah telah mengurangi sebanyak lima waktu.’ Namun Musa tetap mengatakan: ‘Sesungguhnya umatmu belum mampu memenuhi kewajiban ini, kembalilah kepada Rabbmu dan mohonlah keringanan kepada-Nya.
Terus menerus aku bolak-balik antara Rabbku tabaraka wata’ala dengan Musa ‘alaihissalam sampai Allah menyatakan: ‘Wahai Muhammad, kewajiban shalat itu sebanyak lima waktu sehari semalam, setiap shalat bernilai sepuluh (kebaikan), sehingga nilai keseluruhan dari lima waktu shalat adalah sebanyak 50 waktu shalat. Barangsiapa yang berniat untuk melakukan satu kebaikan namun dia belum mengamalkannya, maka akan dicatat untuknya satu kebaikan. Dan jika dia mengamalkannya, maka akan dicatat untuknya sepuluh kebaikan. Barangsiapa yang berniat melakukan kejelekan namun belum mengerjakannya, maka tidak akan dicatat kejelekan untuknya sedikitpun, dan jika mengerjakan kejelekan itu, maka akan dicatat baginya satu kejelekan.
Akupun turun dan berjumpa dengan Musa shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku kabarkan tentang apa yang telah aku alami. Maka Musa mengatakan: ‘Kembalilah kepada Rabbmu, mohonlah kepada-Nya keringanan. Aku katakan kepadanya: ‘Sungguh aku telah kembali kepada Rabbku sampai aku merasa malu kepada-Nya.”
Isra’ dan Mi’raj dengan Ruh dan Jasad Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
Sebagian kalangan yang lebih mengedepankan akal dan logikanya dalam memahami agama ini -daripada nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah- berupaya untuk mengingkari terjadinya peristiwa Isra’Mi’raj. Kalaupun benar peristiwa tersebut terjadi, maka itu hanya mimpi atau hanya ruh beliau saja, tidak mungkin dengan jasad fisik beliau. Menurut mereka, tidak masuk akal perjalanan sejauh itu hanya ditempuh selama satu malam. Sangat jauhnya jarak antara Masjidil Haram dengan Masjidil Aqsha, kemudian ditambah jarak antara bumi dan langit, tentunya membutuhkan perjalanan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sehingga tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menempuhnya dengan jasad beliau. Sebuah benda yang paling keras sekalipun, kalau bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka benda tersebut bisa meleleh, apalagi jasad seorang manusia. Ini tidak masuk akal, kata mereka.Maka kita katakan: Benar bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj itu tidak masuk akal, yakni akal yang berpenyakit, akalnya orang-orang yang di hatinya terdapat bibit penyimpangan dan kesesatan dari agama yang lurus ini.
Sungguh akal yang sehat itu justru menerima dengan penuh ketundukan dan keyakinan setiap berita dalam Al-Qur’an maupun hadits. Akal yang sehat menyatakan bahwa Allah ta’ala Maha Mampu atas segalanya. Kalau Allah berkehendak, Allah pun mampu untuk menciptakan kejadian luar biasa yang lebih menakjubkan daripada peristiwa Isra’ Mi’raj pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut.
Ayat Al-Qur’an yang mengabadikan peristiwa besar ini, yaitu firman Allah ta’ala:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا
حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah
Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Isra’: 1)menunjukkan bahwa peristiwa tersebut adalah benar adanya dan dialami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau, bukan ruh saja atau mimpi saja. Berikut argumentasinya:
1. Kalimat tasbih (سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى …). Sebagaimana yang sudah dikenal di kalangan umat Islam, bahwa kalimat tasbih ini juga sering digunakan ketika melihat atau mendengar peristiwa besar dan menakjubkan. Kalau Isra’ dan juga Mi’raj ini dilakukan dalam mimpi beliau saja, maka ini bukanlah suatu peristiwa besar. Dalam mimpi, seorang manusia bisa saja mengalami kejadian aneh maupunperistiwa mustahil yang tidak akan mungkin terjadi di alam nyata ini.
2. Kalimat (بِعَبْدِهِ), yang berarti hamba-Nya. Kalimat عبد / hamba, bermakna sebuah ungkapan yang menunjukkan berkumpulnya antara ruh dan jasad, sebagaimana yang sudah dikenal dalam bahasa Arab.
Adapun peristiwa Mi’raj, Allah subhanahu wata’ala telah abadikan dalam Al-Qur’an di awal-awal surat An-Najm. Pada ayat ke-17:
مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى
“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (An-Najm: 17)juga merupakan argumentasi yang kuat yang menunjukkan bahwa peristiwa tersebut terjadi dan dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau. Hal ini ditunjukkan pada kata الْبَصَرُ (yang berarti penglihatan, maksudnya penglihatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), karena kata الْبَصَرُ adalah sebuah ungkapan yang bermakna alat penglihatan dari dzat (jasad), bukan dari ruh.
Argumen lain yang menunjukkan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ruh dan jasad beliau adalah dalam ayat-Nya:
وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآَنِ
“Dan Kami tidak menjadikan ru’ya[3] yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al-Qur’an.” (Al-Isra’: 60)Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan makna ru’ya pada ayat di atas adalah pemandangan yang diperlihatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada peristiwa Isra’ ke Baitul Maqdis, adapun pohon kayu yang terkutuk adalah pohon Zaqqum sebagaimana dalam surat Ash-Shaffat ayat 62 sampai 65. (HR. Al-Bukhari, no. 3599).
Sebagiamana ayat di atas, peristiwa yang dilihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan fitnah (ujian) bagi manusia, siapa yang membenarkannya dan siapa saja yang mendustakannya. Seandainya peristiwa seperti itu dialami dalam mimpi, maka tidak akan menjadi ujian bagi mereka. Bisa jadi semua orang -termasuk musyrikin Quraisy- akan percaya dan membenarkannya, karena -sebagaimana yang sudah disebutkan di atas- bahwa siapapun bisa saja bermimpi mengalami kejadian aneh atau peristiwa mustahil yang tidak akan mungkin terjadi di alam nyata ini.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir dan Adhwa-ul Bayan).
Sebagian pihak yang tidak mengimani bahwa peristiwa Isra Mi’raj dengan ruh dan jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdalil dengan adanya salah satu riwayat dalam Shahih Muslim yangmenyebutkan tentang peristiwa Isra Mi’raj beliau, dan disebutkan di dalamnya:
وَهُوَ نَائِمٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Dan beliau sedang tidur di Masjidil Haram.”Kata mereka, riwayat ini menunjukkan bahwa beliau mengalami peristiwa ini dalam mimpi saja karena ketika itu beliau sedang tidur.
Kalau kita mengkaji dengan seksama kitab Syarh (penjelasan) Shahih Muslim yang ditulis oleh Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah, maka kita akan jumpai keterangan beliau dengan menukil perkataan ulama sebelumnya tentang riwayat tersebut. Dan setelah dipelajari, maka kesimpulan dari yang disebutkan oleh beliau adalah di antaranya:
1. Riwayat tersebut telah diingkari oleh para ulama[4].
2. Para rawi hadits ini dari kalangan huffazh mutqinin dan para imam yang terkenal tidak ada satu pun yang menyebutkan riwayat dengan lafazh di atas.
3. Bisa jadi tidurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika itu adalah saat datangnya malaikat kepada beliau. Adapun setelah itu, beliau bangun dan kemudian mengalami peristiwa yangsangat menakjubkan tersebut. Konteks hadits yang menyebutkan kisah ini tidak menunjukkan bahwa beliau ketika itu sedang tidur.
4. Yang benar adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengalami peristiwa Isra’ dengan jasad beliau. Wallahu a’lam.
Benarkah Isra’ Mi’raj pada 27 Rajab?
Nantikan tulisan berikutnya, Insya Allah.
[2] Secara bahasa Sidratul Muntaha artinya pohon penghabisan. Ibnu Abbas dan para mufassirin menerangkan bahwa dinamakan pohon tersebut dengan Sidratul Muntaha karena pengetahuan malaikat berhenti sampai di tempat ini, tidak ada seorangpun yang sanggup mencapainya kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa dinamakannya Sidratul Muntaha karena dia adalah tempat berhentinya segala sesuatu yang turun dari atasnya maupun yang naik dari arah bawahnya, berupa urusan Allah ta’ala (wahyu dan ketetapan-Nya). Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim).
[3] Kata ru’ya sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan mimpi. Namun dalam ayat ini, ru’ya bermakna pemandangan di alam nyata, bukan di alam mimpi sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Abdullah bin Abbas setelah ini.
[4] Hal ini disebabkan karena kesalahan salah satu rawi dalam meriwayatkan hadits atau mungkin ada sebab lain wallahu a’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)